Rabu, 04 Juni 2014

Pendidikan Kaum Tertindas



PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS
The Author : PAULO FREIRE

Pada tahun 1960-an, ketika membeludaknya keresahan sosial di Brasil yang memunculkan ketegangan dari sejumlah gerakan pembaharuan yang dikarenakan digerakkan oleh tujuan politik yang pada waktu itu di Brasil adalah momen pemilu. Pada masa pemerintahan presiden Brasil Joao Goulart pada 1961, Freire memperoleh mandat untuk  bertugas di direktur pelayanan extension kultural Universitas Recife yang menerapkan program kenal aksara dikalangan petani di daerah timur laut. Lalu kemudian program itu ia kembangkan bersama timnya di seluruh Brasil pada tahun 1964. Freire tidak hanya memberikan program kenal aksara tetapi juga sekaligus membangun kesadaran politik masyarakat Brasil. Freire sangat kritis terhadap pendidikan tradisional di Brasil yang bercirikan menggurui dan hapalan. Menurutnya cara semacam itu akan mengalami kegagalan dalam mendewasakan manusia, yang diharapkan mampu ikut serta dalam menetukan nasib sendiri. Dia juga mengkritik kaum cendekiawan Brasil yang banyak berpikir dan menulis melalui kaca-mata pandang eropa atau amerika serikat, serta diilhami oleh kepentingan golongan tertentu dalam masyarakat yang ingin mempertahankan status quo demi keuntungan yang dinikmati selama itu.
Paulo Freire lahir di sebuah wilayah yang bisa dikatakan sebgai wilayah yang terbelakang dan miskin di kota pelabuhan yang terletak di bagian timur laut Brasil, Recife. Freire mulai tertarik dengan teori-teori pendidikan ketika setelah ia menikah dengan istrinya yang bernama Elza Maya Costa Oliviera dan dari pernikahan itu dikaruniai 3 orang buah hati. Freire yang seorang sarjana Hukum, lulus dengan nilai rata-rata saja, justru lebih banyak membaca buku-buku pendidikan ketimbang hukum. Setelah lulus menjadi sarjana hukum ia bekerja sebagai pejabat dalam bidang kesejahteraan, bahkan ia pernah menjadi direktur bagian pendidikan dan kebudayaan SESI (pelayanan sosial) di negara bagian pernambuco. Dari pekerjaan itulah memberikan Freire banyak memperoleh penglaman mengenai kaum miskin di kota-kota. Sebenarnya sudah sejak kecil ia terbiasa dilingkungannya berkumpul dan bersosialisasi bersama orang-orang yang dikatakan kaum tertindas. Dan dari pengalaman-pengalaman dan pengamatan yang panjang itulah ia menulis buku “pendidikan kaum tertindas”. Dalam buku itu ia menharapkan dunia merupakan tempat yang mudah bagi manusia untuk saling mencintai sesamanya, tidak ada kaum tertindas dan lebih memanusiakan manusia.  Freire adalah  orang yang selalu berusaha bersungguh-sungguh agar tindakannya mencerminkan kata-katanya.
“Sepanjang humanisasi ataupun dehumanisasi merupakan pilihan-pilihan yang nyata, maka hanya yang pertama itulah yang merupakan fitrah manusia. Dan justru fitrah inilah yang senantiasa diingkari, namun demikian dia justru diakui melalui pengingkaran tersebut. Dia dimungkiri lewat perlakuan tidak adil, pemerasan, penindasan, dan kekejaman kaum penindas; dia diakui oleh adanya kerinduan kaum tertindas akan kebebasan dan keadilan, serta oleh perjuangan mereka untuk menemukan kembali harkat kemanusiaan mereka yang hilang.”
Dalam Bab 1 membicarakan tentang penyadaran terhadap penindasan. Hadirnya pendidikan kaum tertindas adalah untuk menyadarkan kembali kepada kaum tertindas betapa pentingnya hak dan kebebasan yang telah dirampas secara tidak adil dan semena-mena oleh para penindas. Dengan hadirnya pendidikan ini juga membekali kaum tertindas untuk bertindak lebih memahami situasi dalam merebut kembali hak yang dirampas tersebut. Pendidikan kaum tertindas merupakan pembebas dan penindasan merupakan suatu kekejaman. Karena menurut Freire dalam situasi apapun, melakukan pemerasan atau menghalangi untuk mencapai afirmasi diri sebagai seorang manusia yang bertanggung jawab, merupakan sebuah bentuk penindasan. Hal itu sudah berarti kekejaman walaupun tidak tampak secara nyata. Dan belum pernah kekejaman itu dimulai dari kaum yang tertindas karena mereka sendiri merupakan hasil dari penindasan itu sendiri. “Kekuasaan dimanfaatkan bukan oleh mereka yang lemah dibawah tekanan berat dari pihak yang kuat, tetapi oleh si kuat yang telah mengebiri si lemah.”
 Pada halaman 27-28 dalam buku pendidikan kaum tertindas dijelaskan Ada dua tahap dalam pendidikan kaum tertindas,  sebagai pendidikan kaum humanis dan pembebas. “pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan  dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng.” Pada tahap pertama ia terlebihdahulu menyadarkan kaum tertindas bahwa adanya penindasan dan merekalah yang sebenarnya sedang tertindas sebagai kaum tertindas dan ada yang berlaku mendindas sebagai kaum penindas dan menyadarkan kaum tertindas untuk merebut kembali hak-hak mereka yang tertindas. Dan kemudian pada tahap kedua, setelah kaum tertindas menperoleh kembali haknya atau mengambil alih kekuasaan maka mereka diminta untuk meninggalkan dan melupakan tentang penindaasan agar tercapainya kebebasan yang langgeng bagi seluruh manusia. Oleh karena itulah pada tahap kedua pendidikan kaum tertindas bukan lagi mengajarkan merebut kembali kekuasaan namun justru mengajarkan nilai-nilai keadilan dan humanis dalam proses tercapainya kebebasan yang langgeng.
Dalam Bab 2 Buku ini menjelaskan tentang pendidikan “Gaya Bank”, yaitu dimana seorang Guru menyempaikan materi, Murid mendengarkan, lalu mencatat dan menyimpan. Tidak adanya pancingan untuk Murid berpikir kritis dan lebih antusias untuk memahami lebih dalam maksud dari sebuah kata seperti misalnya “Ibukota”, apa yang dimaksud ibukota itu? Mengapa tempat itu disebut ibukota?, sebaliknya pendidikan Gaya Bank ini justru seolah menjadi penindasan dan pembodohan yang terselubung/tersembunyi.
“pengetahuan hanya lahir melalui pencarian manusia yang gelisah, tidak sabar, terus-menerus dan penuh harapan didunia, dengan dunia dan bersama orang lain.” Sedangkan dalam konsep pendidikan Gaya Bank, pengetahuan dibuat menjadi merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada oranglain. Dalam hal ini Guru berlaku sebagai penjajah, dan Murid tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka sedang dijajah. Murid hanya diam dan menerima segala pemberian dari Gurunya dan menganggap semua itu adalah pembenaran. Guru sebagai sumber utama yang selalu benar dan paling tahu, sedangkan Murid bagaikan bejana kosong yang hanya berfugsi sebagai penampung.
“penindasan – kekuasaan yang berlebihan – adalah nekrofilis; dia ditumbuhkan oleh rasa cinta pada kematian, bukan kehidupan. Konsep pendidikan Gaya Bank, yang mengabdi pada kepentinga-kepentingan penindasan, adalah juga nekrofilis. Berdasar pada pandangan tentang kesadaran yang mekanistis, statis, naturalistis dan terkotak, dia menjadikan Murid sebagai obyek-obyek yang harus menerima. Dia selalu berusaha mengendalikan pikiran dan tindakan, mengarahkan manusia agar menyesuaikan diri terhadap dunia dan mengahalangi kemampuan kreatif mereka.”
Pikiran Guru hanya dapat murni melalui pikiran Murid-Muridnya, Guru tidak dapat berpikir untuk Murid-Muridnya atau tidak memaksakan pikirannya pada mereka. Agar Murid dapat berpikir lebih bebas dan kreatif tanpa ditutupi oleh pembatasan dan pengalihan informasi dari Guru terhadap Murid. Oleh karena itu pendidikan Gaya Bank harus diubah menjadi pendidikan hadap masalah. Pada metode ini mewujudkan suasana baru yang lebih bebas yaitu Guru-yang-Murid dan Murid-yang-Guru. Guru tidak lagi menjadi orang yang mengajar, tetapi yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para Murid, yang pada gilirannya disamping diajar mereka juga mengajar. Sehingga, mereka semua bertanggungjawab terhadap suatu proses tempat mereka tumbuh dan berkembang. Manusia menjadi saling mengajar satu sama lain.
  
Pada Bab 3, berbicara tentang kata dan dialog.
“keberadaan manusia tidak mungkin tanpa kata, juga tidak berlangsung dalam kata-kata palsu, tetapi hanya dalam kata-kata yang benar, dengan apa manusia mengubah dunia.”
Manusia takkan berlangsung tanpa kata, tidak mungkin diam dalam kebisuan, karena manusia adalah makhluk sosial, oleh karenanya manusia harus mampu berinteraksi dengan baik dengan sesamanya, dan bukan dengan kata-kata palsu yang menipu, dan berucap kata yang benar untuk mengubah dunia. Oleh karena itu, bersuara adalah hak setiap manusia, dengan begitu jika seorang diam dan tidak berani berkata, maka ia membiarkan haknya dirampas dan diambil alih orang lain. Sehingga dengan berjalannya dialog yang baik antar sesamanya maka hak tersebut sudah terpenuhi. Karena hak itu adalah kebutuhan setiap manusia, agar tidak adanya satu orang yang aktif memberikan gagasan dan tidak lagi ada yang pasif hanya menerima, tetapi menjadi saling interaktif dan aktif dalam membahas suatu permasalahan secara bersama.
“Manusia sebagai makhluk “dalam situasi tertentu”, menemukan diri berakar dalam lingkungan ruang dan waktu yang mewarnai mereka serta mereka warnai. Mereka cenderung merefleksi “situasionalitas” itu sampai terlihat sebagai tantangan yang harus diatasi. Manusia mengada karena ia berada dalam satu situasi. Dia akan semakin mengada bila ia semakin tidak hanya berpikir kritis terhadap eksistensinya, tetapi juga bertindak secara kritis terhadapnya.” (hal. 108)
Dibahas juga didalamnya tentang penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, serangan budaya, kerja sama, persatuan untuk pembebasan, dan lain-lain.

Pembahasan dalam buku ini sangat menarik, banyak hal-hal yang dijelaskan dalam buku ini masih acapkali berlaku di Indonesia. Seperti pendidikan “Gaya Bank”, masih terjadi di Indonesia.

"biarkan tulisanmu yang mencatatmu dalam sejarah"
by : RofiQoh Noviati