PENDIDIKAN
KAUM TERTINDAS
The
Author : PAULO FREIRE
Paulo Freire
lahir di sebuah wilayah yang bisa dikatakan sebgai wilayah yang terbelakang dan
miskin di kota pelabuhan yang terletak di bagian timur laut Brasil, Recife. Freire
mulai tertarik dengan teori-teori pendidikan ketika setelah ia menikah dengan
istrinya yang bernama Elza Maya Costa Oliviera dan dari pernikahan itu
dikaruniai 3 orang buah hati. Freire yang seorang sarjana Hukum, lulus dengan
nilai rata-rata saja, justru lebih banyak membaca buku-buku pendidikan
ketimbang hukum. Setelah lulus menjadi sarjana hukum ia bekerja sebagai pejabat
dalam bidang kesejahteraan, bahkan ia pernah menjadi direktur bagian pendidikan
dan kebudayaan SESI (pelayanan sosial) di negara bagian pernambuco. Dari
pekerjaan itulah memberikan Freire banyak memperoleh penglaman mengenai kaum
miskin di kota-kota. Sebenarnya sudah sejak kecil ia terbiasa dilingkungannya
berkumpul dan bersosialisasi bersama orang-orang yang dikatakan kaum tertindas.
Dan dari pengalaman-pengalaman dan pengamatan yang panjang itulah ia menulis
buku “pendidikan kaum tertindas”. Dalam buku itu ia menharapkan dunia merupakan
tempat yang mudah bagi manusia untuk saling mencintai sesamanya, tidak ada kaum
tertindas dan lebih memanusiakan manusia. Freire adalah orang yang selalu berusaha bersungguh-sungguh
agar tindakannya mencerminkan kata-katanya.
“Sepanjang humanisasi ataupun dehumanisasi merupakan
pilihan-pilihan yang nyata, maka hanya yang pertama itulah yang merupakan
fitrah manusia. Dan justru fitrah inilah yang senantiasa diingkari, namun
demikian dia justru diakui melalui pengingkaran tersebut. Dia dimungkiri lewat
perlakuan tidak adil, pemerasan, penindasan, dan kekejaman kaum penindas; dia
diakui oleh adanya kerinduan kaum tertindas akan kebebasan dan keadilan, serta
oleh perjuangan mereka untuk menemukan kembali harkat kemanusiaan mereka yang
hilang.”
Dalam Bab 1 membicarakan
tentang penyadaran terhadap penindasan. Hadirnya pendidikan kaum tertindas
adalah untuk menyadarkan kembali kepada kaum tertindas betapa pentingnya hak
dan kebebasan yang telah dirampas secara tidak adil dan semena-mena oleh para
penindas. Dengan hadirnya pendidikan ini juga membekali kaum tertindas untuk
bertindak lebih memahami situasi dalam merebut kembali hak yang dirampas
tersebut. Pendidikan kaum tertindas merupakan pembebas dan penindasan merupakan
suatu kekejaman. Karena menurut Freire dalam situasi apapun, melakukan
pemerasan atau menghalangi untuk mencapai afirmasi diri sebagai seorang manusia
yang bertanggung jawab, merupakan sebuah bentuk penindasan. Hal itu sudah
berarti kekejaman walaupun tidak tampak secara nyata. Dan belum pernah
kekejaman itu dimulai dari kaum yang tertindas karena mereka sendiri merupakan
hasil dari penindasan itu sendiri. “Kekuasaan dimanfaatkan bukan oleh mereka
yang lemah dibawah tekanan berat dari pihak yang kuat, tetapi oleh si kuat yang
telah mengebiri si lemah.”
Pada halaman 27-28 dalam buku pendidikan kaum
tertindas dijelaskan Ada dua tahap dalam pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan kaum humanis dan pembebas.
“pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk
mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah
berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi
pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang
langgeng.” Pada tahap pertama ia terlebihdahulu menyadarkan kaum tertindas
bahwa adanya penindasan dan merekalah yang sebenarnya sedang tertindas sebagai
kaum tertindas dan ada yang berlaku mendindas sebagai kaum penindas dan
menyadarkan kaum tertindas untuk merebut kembali hak-hak mereka yang tertindas.
Dan kemudian pada tahap kedua, setelah kaum tertindas menperoleh kembali haknya
atau mengambil alih kekuasaan maka mereka diminta untuk meninggalkan dan
melupakan tentang penindaasan agar tercapainya kebebasan yang langgeng bagi
seluruh manusia. Oleh karena itulah pada tahap kedua pendidikan kaum tertindas
bukan lagi mengajarkan merebut kembali kekuasaan namun justru mengajarkan
nilai-nilai keadilan dan humanis dalam proses tercapainya kebebasan yang
langgeng.
Dalam Bab 2 Buku ini
menjelaskan tentang pendidikan “Gaya Bank”, yaitu dimana seorang Guru
menyempaikan materi, Murid mendengarkan, lalu mencatat dan menyimpan. Tidak
adanya pancingan untuk Murid berpikir kritis dan lebih antusias untuk memahami
lebih dalam maksud dari sebuah kata seperti misalnya “Ibukota”, apa yang
dimaksud ibukota itu? Mengapa tempat itu disebut ibukota?, sebaliknya
pendidikan Gaya Bank ini justru seolah menjadi penindasan dan pembodohan yang
terselubung/tersembunyi.
“pengetahuan hanya lahir
melalui pencarian manusia yang gelisah, tidak sabar, terus-menerus dan penuh
harapan didunia, dengan dunia dan bersama orang lain.” Sedangkan dalam konsep
pendidikan Gaya Bank, pengetahuan dibuat menjadi merupakan sebuah anugerah yang
dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang
dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak
pada oranglain. Dalam hal ini Guru berlaku sebagai penjajah, dan Murid tidak
menyadari bahwa sesungguhnya mereka sedang dijajah. Murid hanya diam dan
menerima segala pemberian dari Gurunya dan menganggap semua itu adalah
pembenaran. Guru sebagai sumber utama yang selalu benar dan paling tahu,
sedangkan Murid bagaikan bejana kosong yang hanya berfugsi sebagai penampung.
“penindasan – kekuasaan yang
berlebihan – adalah nekrofilis; dia ditumbuhkan oleh rasa cinta pada kematian,
bukan kehidupan. Konsep pendidikan Gaya Bank, yang mengabdi pada
kepentinga-kepentingan penindasan, adalah juga nekrofilis. Berdasar pada
pandangan tentang kesadaran yang mekanistis, statis, naturalistis dan terkotak,
dia menjadikan Murid sebagai obyek-obyek yang harus menerima. Dia selalu
berusaha mengendalikan pikiran dan tindakan, mengarahkan manusia agar
menyesuaikan diri terhadap dunia dan mengahalangi kemampuan kreatif mereka.”
Pikiran Guru hanya dapat
murni melalui pikiran Murid-Muridnya, Guru tidak dapat berpikir untuk Murid-Muridnya
atau tidak memaksakan pikirannya pada mereka. Agar Murid dapat berpikir lebih
bebas dan kreatif tanpa ditutupi oleh pembatasan dan pengalihan informasi dari Guru
terhadap Murid. Oleh karena itu pendidikan Gaya Bank harus diubah menjadi
pendidikan hadap masalah. Pada metode ini mewujudkan suasana baru yang lebih
bebas yaitu Guru-yang-Murid dan Murid-yang-Guru. Guru tidak lagi menjadi orang
yang mengajar, tetapi yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para Murid,
yang pada gilirannya disamping diajar mereka juga mengajar. Sehingga, mereka
semua bertanggungjawab terhadap suatu proses tempat mereka tumbuh dan berkembang.
Manusia menjadi saling mengajar satu sama lain.
Pada Bab 3, berbicara
tentang kata dan dialog.
“keberadaan manusia tidak
mungkin tanpa kata, juga tidak berlangsung dalam kata-kata palsu, tetapi hanya
dalam kata-kata yang benar, dengan apa manusia mengubah dunia.”
Manusia takkan berlangsung
tanpa kata, tidak mungkin diam dalam kebisuan, karena manusia adalah makhluk
sosial, oleh karenanya manusia harus mampu berinteraksi dengan baik dengan
sesamanya, dan bukan dengan kata-kata palsu yang menipu, dan berucap kata yang
benar untuk mengubah dunia. Oleh karena itu, bersuara adalah hak setiap
manusia, dengan begitu jika seorang diam dan tidak berani berkata, maka ia
membiarkan haknya dirampas dan diambil alih orang lain. Sehingga dengan
berjalannya dialog yang baik antar sesamanya maka hak tersebut sudah terpenuhi.
Karena hak itu adalah kebutuhan setiap manusia, agar tidak adanya satu orang
yang aktif memberikan gagasan dan tidak lagi ada yang pasif hanya menerima,
tetapi menjadi saling interaktif dan aktif dalam membahas suatu permasalahan
secara bersama.
“Manusia sebagai makhluk
“dalam situasi tertentu”, menemukan diri berakar dalam lingkungan ruang dan
waktu yang mewarnai mereka serta mereka warnai. Mereka cenderung merefleksi
“situasionalitas” itu sampai terlihat sebagai tantangan yang harus diatasi.
Manusia mengada karena ia berada dalam satu situasi. Dia akan semakin mengada
bila ia semakin tidak hanya berpikir kritis terhadap eksistensinya, tetapi juga
bertindak secara kritis terhadapnya.” (hal. 108)
Dibahas juga didalamnya
tentang penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, serangan budaya, kerja sama,
persatuan untuk pembebasan, dan lain-lain.
Pembahasan dalam buku ini sangat menarik, banyak hal-hal yang dijelaskan dalam buku ini masih acapkali berlaku di Indonesia. Seperti pendidikan “Gaya Bank”, masih terjadi di Indonesia.
"biarkan tulisanmu yang mencatatmu dalam sejarah"
by : RofiQoh Noviati